1. Biografi
Ali bin Abi Thalib
Ali dilahirkan di Mekkah,
daerah Hejaz, Jazirah Arab, pada tanggal 13 Rajab. Menurut sejarawan, Ali
dilahirkan 10 tahun sebelum dimulainya kenabian Muhammad, sekitar tahun 600
Masehi. Beliau bernama asli Haydar bin Abi Thalib. Namun Rasullullah Saw. tidak
menyukainya dan memanggilnya Ali yang berarti memiliki derajat yang tinggi di
sisi Allah.
Ketika Rasullullah Saw. mulai
menyebarkan Islam, Ali saat itu berusia 10 tahun. Namun ia mempercayai
Rasullullah Saw. dan menjadi orang yang pertama masuk Islam dari golongan
anak-anak. Masa remajanya banyak dihabiskan untuk belajar bersama Rasullullah
sehingga Ali tumbuh menjadi pemuda cerdas, berani dan bijak. Jika Rasullullah
Saw. adalah gudang ilmu, maka Ali ibarat kunci untuk membuka gudang tersebut.
2. Pemerintahan
pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib
Setelah wafatnya Rasullullah,
timbul perselisihan perihal siapa yang akan diangkat menjadi khalifah. Kaum
Syiah percaya Nabi Muhammad telah mempersiapkan Ali sebagai khalifah. Tetapi
Ali dianggap terlalu muda untuk menjabat sebagai khalifah. Pada akhirnya Abu
Bakar yang diangkat menjadi khalifah pertama. Setelah terbunuhnya Utsman
bin Affan, keadaan politik Islam menjadi kacau. Atas dasar tersebut, Zubair bin
Awwam dan Talhah bin Ubaidillah mendesak agar Ali segera menjadi khalifah. Ali
kemudian dibaiat beramai-ramai, menjadikannya khalifah pertama yang dibaiat
secara luas. Namun kegentingan politik membuat Ali harus memikul tugas yang
berat untuk menyelesaikannya.
Pada pemerintahannya sudah diguncang peperangan dengan Thalhah dan Zubair yang
didukung oleh Aisyah (istri Nabi) karena kesalahpahaman dalam menyikapi pembunuhan
terhadap Khalifah Utsman. Peperangan diantara mereka disebut perang Jamal
(unta) karena Aisyah menggunakan kendaraan unta. Setelah berhasil mengatasi
pemberontakan Aisyah, muncul pemberontakan lain, sehingga masa kekuasaan
Khalifah Ali tidak pernah mendapatkan ketenangan dan kedamaian. Salah satunya
adalah perang Shiffin yang diikuti dengan merebaknya
fitnah seputar kematian Utsman bin Affan yang membuat posisi Ali sebagai
khalifah menjadi sulit. Perang antara Khalifah Ali dengan Muawiyyah (gubernur
Damaskus) berakhir dengan tahkim (arbitrase).
Khalifah Ali bin Abi Thalib
meninggal di usia 63 tahun karena dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam,
seseorang yang berasal dari golongan Khawarij (pembangkang) saat mengimami
shalat subuh di masjid Kufah, pada tanggal 19 Ramadhan, dan Khalifah Ali
menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 20 Ramadhan tahun 40 Hijriyah. Khalifah
Ali dikuburkan secara rahasia di Najaf, bahkan ada beberapa riwayat yang
menyatakan bahwa ia dikubur di tempat lain. Selanjutnya kursi kekhalifahan
dipegang secara turun temurun oleh keluarga Bani Umayyah dengan khalifah
pertama Muawiyah.
3. Pendidikan
Pada Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib
a.
Kurikulum/Materi
Pendidikan
Materi pendidikan yang diajarkan pada masa
Khalifah Ali selain yang berkaitan dengan pendidikan keagamaan yaitu al-Qur’an,
al-Hadits, hukum Islam, kemasyarakatan, ketatanegaraan, pertahanan keamanan dan
kesejahteraan sosial. Para sahabat yang dinilai memiliki kecakapan dalam ilmu
agama kemudian dipercaya oleh masyarakat untuk mengajar atau menyampaikan
ilmunya kepada orang lain. Kurikulum pendidikan Islam pada masa Khalifah Ali meliputi
bidang keagamaan yang mencakup akidah, ubudiyah, akhlak dan muamalah.
Selanjutnya praktek pengelolaan pendidikan pada
masa ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.
Prinsip-prinsip
pendidikan.
2.
Pendidikan
diarahkan pada mengajarkan isi al-Qur’an.
3.
Pendidikan
diajarkan dengan menggunakan dialekdaerah masing-masing, sehingga sering timbul
perselisihan dalam bacaan al-Qur’an.
4.
Sumber
pendidikan diambil dari al-Qur’an, hadits, alam sekitar dan ijtihad dalam benuk
ijma’ dan qiyas.
5.
Kurikulum
atau rencana pelajaran meliputi:
a)
Bidang
keagamaan yang mencakup akidah, ubudiyah, akhlak dan muamalah.
b)
Rencana
pelajaran disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.
c)
Pada
masa Khalifah Ali digalakkan motivasi belajar.
d)
Lembaga
pendidikan pada masa khulafaur rasyidin tidak berbeda dengan masa Rasulullah.
b.
Sasaran
(Peserta Didik)
Peserta didik pada zaman khulafaur rasyidin
terdiri dari masyarakat yang tinggal di Mekkah, Madinah dan beberapa daerah
kekuasaan Islam. Namun yang khusus mendalami bidang kajian keagamaan hingga
menjadi seorang yang mahir, alim dan mendalam penguasaannya dibidang ilmu agama
jumlahnya masih terbatas. Sasaran pendidikan dalam arti umum, yakni membentuk
sikap mental keagamaan adalah seluruh umat islam yang ada di Mekkah dan Madinah.
Adapun sasaran pendidikan dalam arti khusus, yakni membentuk ahli ilmu agama
sebagian kecil dari kalangan tabi’in yang selanjutnya menjadi ulama.
c.
Tenaga
Pendidik
Yang menjadi pendidik pada zaman Khalifah Ali
bin Abi Thalib antara lain adalah Abdullah bin Umar, Abu Hurairoh, Ibn Abbas,
Siti Aisyah, Anas bin Malik, Zaid bin Tsabit dan Abu Dzar Al-Ghifari. Dari
mereka itulah kemudian lahir para siswa yang kemudian menjadi ulama dan
pendidik.
Dalam kitab Adab al-Muallim wa al-Muta’allim disebutkan bahwa
seorang pendidik harus memiliki dua belas sifat sebagai berikut:
1)
Tujuan mengajar
adalah untuk mendapatkan keridhoan Allah ta’ala, bukan untuk tujuan yang
bersifat duniawi, harta, kepangkatan, kebenaran, kemewahan, status sosial, dan
lain sebagainya.
2)
Senantiasa
mendekatkan diri kepada Allah dalam keadaan terang-terangan dan senantiasa
menjaga rasa takut dalam semua gerak dan diamnya, ucapan dan perbuatannya,
karena dia adalah seorang yang diberi amanat dengan diberikannya ilmu oleh
Allah dan kejernihan panca indera dan penalarannya.
3)
Menjaga
kesucian ilmu yang dimilikinya dari perbuatan yang tercela.
4)
Berakhlak
dengan sifat zuhud dan tidak berlebih-lebihan dalam urusan duniawi, qona’ah,
dan sederhana.
5)
Menjauhkan diri
dari perbuatan tercela.
6)
Melaksanakan
syariat islam dengan sebaik-baiknya.
7)
Melaksanakan
amalan sunnah yang disyari’atkan.
8)
Bergaul dengan
sesame manusia dengan menggunakan akhlak yang mulia dan terpuji.
9)
Memelihara
kesucian lahir dan batinnya dari akhlak yang tercela.
10)
Senantiasa
semangat dalam menambah ilmu dengan sungguh-sungguh dan kerja keras.
11)
Senantiasa
memberikan manfaat kepada siapapun.
12)
Aktif dalam
pengumpulan bahan bacaan, mengarang, dan menulis buku.
d.
Metode
Pendidikan
Metode yang digunakan dalam mengajar yaitu
dengan bentuk halaqoh. Yakni guru duduk dibagian ruangan masjid kemudian
dikelilingi oleh para siswa. Guru menyampaikan ajaran kata demi kata dengan
artinya dan kemudian menjelaskan kandungannya. Sementara para siswa menyimak,
mencatat, dan mengulangi apa yang dikemukakan oleh para guru.
e.
Lembaga
Pendidikan
Lembaga pendidikan yang digunakan pada masa
Khalifah Ali bin Abi Thalib masih sama dengan lembaga-lembaga pendidikan yang
digunakan pada zaman-zaman sebelumnya yaitu masjid, kuffah, kuttab,
madrasah dan rumah-rumah sahabat yang menjadi pendidik.
Semakin meluasnya daerah kekuasaan Islam
dibarengi dengan usaha penyampaian ajaran Islam kepada penduduknya oleh para
sahabat, baik yang ikut sebagai anggota pasukan maupun yang kemudian dikirim
oleh khalifah dengan tugas khusus mengajar dan mendidik. Maka di luar Madinah,
di pusat-pusat wilayah yang baru dikuasai, berdirilah pusat-pusat pendidikan di
bawah pengurusan para sahabat yang kemudian diteruskan oleh para penggantinya
(tabi’in). Di pusat-pusat pendidikan tersebut, para sahabat memberikan
pelajaran agama Islam pada muridnya, baik yang berasal dari penduduk setempat
maupun daerah lain. Di pusat-pusat pendidikan tersebut, muncullah madrasah yang
masih merupakan sekedar tempatmemberikan pelajaran dalam bentuk halaqah di masjid
atau tempat pertemuan lainnya. Akan tetapi, madrasah Madinah termasyhur karena
di sanalah tempat para sahabat berkumpul dan mengajar.
Referensi:
Arief, Armai. (2004). Sejarah
Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam Klasik. Bandung:
Angkasa.
Misbah, Ma’ruf, dkk. (1986). Sejarah
Peradaban Islam. Semarang: Wicaksana. Edisi 1994.
Nata,
Abudin. (2011). Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana.
Nizar,
Samsul. (2007). Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana.
Sukarno dan Ahmad
Supardi. (2001). Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam. Bandung:
Angkasa.
Suwito
dan Fauzan. (2008). Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana.
Taqiyuddin. (2016). Sejarah Pendidikan
Islam (Dari Akar Sejarah Islam). Cirebon: Pangger.
kesimpulannya gak ada sist
BalasHapus