A. Terbunuhnya
Khalifah Utsman bin Affan
Pada paruh kedua dari 12 tahun masa pemerintahan Khalifah Utsman
bin Affan, keadaan pemerintahan dan politik yang sebelumnya cukup tenang
berubah menjadi mulai bersitegang. Secara pribadi, Khalifah Utsman tidak
berbeda dengan khalifah pendahulunya. Namun, keluarganya dari Bani Umayyah
terus merongrong, sedangkan Khalifah Utsman sendiri lemah menghadapinya.[1]
Sehingga ia terpaksa mengangkat beberapa sanak keluarganya sebagai gubernur di
berbagai daerah kekuasaan Islam, sedangkan gubernur yang sebelumnya diangkat
oleh Khalifah Umar bin Khatab diberhentikan oleh Utsman untuk digantikan oleh
orang-orang dari pihak keluarganya. [2]
Kebijakan politik Utsman ini menimbulkan rasa tidak simpatik
terhadap dirinya. Para sahabat yang semula mendukung Utsman pun kini mulai
menjauh. Selain itu, di Mesir, sebagai reaksi tidak senang karena dijatuhkannya
Umar bin al-Ash (gubernur) yang digantikan oleh Abdullah bin Sa’ad bin Abi
Sarah (salah seorang keluaga Utsman), sekitar lima ratus orang berkumpul.
Kemudian bergerak menuju Madinah untuk melakukan aksi protes. Kejadian ini
berakhir dengan terbunuhnya khalifah Utsman oleh para pemuka aksi protes.
B.
Ali bin Abi Thalib Terpilih Menjadi
Khalifah
Sepeninggal Khalifah Utsman, Ali bin Abi Thalib terpilih dan
dibai’at sebagai khalifah keempat. Namun, naiknya Ali sebagai khalifah ternyata
tidak disetujui oleh semua pihak. Khalifah Ali mendapat tantangan dari pihak
Thalhah dan Zubair yang mendapat dukungan dari Aisyah dan dari pihak Muawiyah,
gubernur Damaskus dan keluarga dekat Utsman.
Tantangan Thalhah dan Zubair berakibat pada terjadinya kontak
senjata (perang) di Irak pada tahun 656 M. Pada peristiwa ini, Thalhah dan
Zubair terbunuh, sementara Aisyah selamat dan dikirim kembali ke Mekah[3].
Muawiyah sebagaimana halnya dengan Thalhah dan Zubair, tidak
mengakui Ali sebagai khalifah. Ia menuntut agar Ali segera mengadili dan
menghukum oknum yang terlibat dalam pembunuhan Utsman. Namun, tuntutan ini
tidak mendapat tanggapan serius, sehingga Muawiyah lebih jauh menuduh Ali
terlibat atau, paling tidak, melindungi para pelaku. [4]
Persitegangan antara pihak Ali dengan pihak Muawiyah juga berakhir
pada peperangan. Dalam peperangan tersebut, pihak Muawiyah dapat dipastikan
kalah. Akan tetapi, Amr bin al-Ash (orang kepercayaan Muawiyah) menggunakan
siasat untuk berdamai dengan mengangkat al-Qur’an di ujung tombak. Pada awalnya
Khalifah Ali menolaknya karena tahu bahwa itu hanya tipu muslihat lawan saat
terdesak. Namun pada akhirnya, Ali terpaksa menerima ajakan berdamai,[5] yang
selanjutnya diadakan tahkim atau arbitrase. Dalam arbitrase tersebut, pihak Ali
diwakili oleh Abu Musa bin al-Asy’ari, sedangkan dari pihak Muawiyah diwakili
oleh Amr bin al-Ash. Menurut sejarah, kedua wakil tersebut sebenarnya telah
bersepakat menjatuhkan kedua pemuka yang sedang bertikai. Namun ketika hasil
tahkim akan diumumkan Amr bin al-Ash, yang terkenal politikus licik, membelok
dari kesepakatan. Ia mengatakan keputusan menjatuhkan Ali dan menolak
menjatuhkan Muawiyah, bahkan langsung membai’atnya sebagai khalifah pengganti
Utsman.[6]
Dengan adanya tahkim ini, kedudukan Muawiyah berubah menjadi khalifah tidak
resmi dan Khalifah Ali sendiri menolak tunduk kepada hasil tahkim dan
melepaskan jabatan kekhalifahan.
C. Perpecahan
dalam Barisan Ali
Dalam menanggapi hasil tahkim, terdapat sekelompok orang yang tidak
setuju terhadap sikap dan kebijaksanaan Ali yang telah menerima tawaran dari
Muawiyah. Pada akhirnya mereka tegas menolak hasil tahkim dan menyatakan keluar
dari barisan Ali. Kelompok ini kemudian dikenal dengan nama al-Khawarij yang
menentang Ali sekaligus Muawiyah.
Khalifah Ali pada awalnya bersiap untuk menghadapi Muawiyah
terlebih dahulu. Namun terdengar berita bahwa kaum al-Khawarij sedang menuju
Madinah untuk melakukan penyerangan. Keadaan ini membuat Khalifah Ali
mengalihkan perhatiannya dan mengarahkan pasukannya ke Madinah. Namun Setelah
berhasil mengalahkan kaum al-Khawarij, pasukan Ali yang tersisa tidak mampu
untuk menumbangkan Muawiyah seperti yang telah direncanakan. Kondisi ini
membuat Muawiyah leluasa berkuasa di Damaskus. Kemudian setelah Khalifah Ali
meninggal, Muawiyah dengan mudahnya memperoleh pengakuan sebagai khalifah.
D. Pembicaraan
Lebih Lanjut Mengenai Kalam
Kaum al-Khawarij menganggap Ali,
Muawiyah, Abu Musa dan Amr bin al-Ash telah kafir,[7]
karena dipandang tidak menetapkan hukum berdasar al-Qur’an. Inilah awal sejarah
munculnya persoalan kalam atau teologi dalam diskusi umat Islam.
Dari pembicaraan kaum al-Khawarij tentang
iman dan kufur, yang dihubungkan dengan pelaku tahkim dan pelaku dosa besar.
Berbagai persoalan kalam lain terus bermunculan dan berkembang sehingga pada
masa Dinasti Bani Abbas, masa Khalifah al-Ma’mun, lahir disiplin ilmu yang
terkenal dengan nama Ilmu Kalam (‘Ilmu al-Kalam). Diberi nama demikian
karena masalah yang hangat diperbincangkan pada masa itu adalah masalah kalam
Allah, al-Qur’an, atau karena cara pembuktian atas kepercayaan agama menyerupai
logika (mantiq) di dalam filsafat. Untuk membedakan dengan logika yang
digunakan di dalam filsafat, cara pembuktian para mutakallim itu dinamai kalam.
[8]
Ilmu kalam ini lazim pula disebut ilmu
Tauhid, ilmu Ushuluddin dan ilmu Aqaid. Disebut ilmu Tauhid karena tujuan pokok
dari ilmu ini adalah meng-Esa-kan Tuhan. Disebut ilmu Ushuluddin karena objek
kajiannya adalah masalah dasar dari ajaran Islam. Adapun disebut ilmu Aqaid
karena yang dibicarakan adalah masalah akidah atau kepercayaan dalam agama
Islam.
[1] Abu al-Fath Muhammad Abdul Karim bin Abi Bakr Ahmad al-Syahrastani, al-Milal
wa al-Nihal, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), hlm. 24
[2] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran, Sejarah AnalisaPerbandingan,
hlm. 4.
[3] Abu al-Fath Muhammad Abdul Karim bin Abi Bakr Ahmad al-Syahrastani, al-Minal
wa al-Nihal, hlm. 25.
[4] Ahmad Amin, Fajr al-Islam, (Kairo: Maktabah al-Nahdah al-Misriyah,
1965), hlm. 254.
[5] Ahmad Amin, Fajr al-Islam, hlm. 256.
[6] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tarikh al-Umam wa
al-Muluk, (Kairo: Dar al-Fikr, 1979), jilid VI, hlm. 39-40.
[7] Abu al-Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyin wa
Ikhtilaf al-Mushallin, (Kairo: Maktabah al-Nahdah al-Misriyyah, 1950),
jilid I, hlm. 189.
[8] Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, (Kairo: Maktabah al-Nahdah
al-Misriyyah, 1964), jilid III, hlm. 9.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar