Wikipedia

Hasil penelusuran

Sabtu, 16 April 2016

Sejarah Timbulnya Ilmu Kalam

A.   Terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan
Pada paruh kedua dari 12 tahun masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan, keadaan pemerintahan dan politik yang sebelumnya cukup tenang berubah menjadi mulai bersitegang. Secara pribadi, Khalifah Utsman tidak berbeda dengan khalifah pendahulunya. Namun, keluarganya dari Bani Umayyah terus merongrong, sedangkan Khalifah Utsman sendiri lemah menghadapinya.[1] Sehingga ia terpaksa mengangkat beberapa sanak keluarganya sebagai gubernur di berbagai daerah kekuasaan Islam, sedangkan gubernur yang sebelumnya diangkat oleh Khalifah Umar bin Khatab diberhentikan oleh Utsman untuk digantikan oleh orang-orang dari pihak keluarganya. [2]
Kebijakan politik Utsman ini menimbulkan rasa tidak simpatik terhadap dirinya. Para sahabat yang semula mendukung Utsman pun kini mulai menjauh. Selain itu, di Mesir, sebagai reaksi tidak senang karena dijatuhkannya Umar bin al-Ash (gubernur) yang digantikan oleh Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarah (salah seorang keluaga Utsman), sekitar lima ratus orang berkumpul. Kemudian bergerak menuju Madinah untuk melakukan aksi protes. Kejadian ini berakhir dengan terbunuhnya khalifah Utsman oleh para pemuka aksi protes.

B.   Ali bin Abi Thalib Terpilih Menjadi Khalifah
Sepeninggal Khalifah Utsman, Ali bin Abi Thalib terpilih dan dibai’at sebagai khalifah keempat. Namun, naiknya Ali sebagai khalifah ternyata tidak disetujui oleh semua pihak. Khalifah Ali mendapat tantangan dari pihak Thalhah dan Zubair yang mendapat dukungan dari Aisyah dan dari pihak Muawiyah, gubernur Damaskus dan keluarga dekat Utsman.
Tantangan Thalhah dan Zubair berakibat pada terjadinya kontak senjata (perang) di Irak pada tahun 656 M. Pada peristiwa ini, Thalhah dan Zubair terbunuh, sementara Aisyah selamat dan dikirim kembali ke Mekah[3].
Muawiyah sebagaimana halnya dengan Thalhah dan Zubair, tidak mengakui Ali sebagai khalifah. Ia menuntut agar Ali segera mengadili dan menghukum oknum yang terlibat dalam pembunuhan Utsman. Namun, tuntutan ini tidak mendapat tanggapan serius, sehingga Muawiyah lebih jauh menuduh Ali terlibat atau, paling tidak, melindungi para pelaku. [4]
Persitegangan antara pihak Ali dengan pihak Muawiyah juga berakhir pada peperangan. Dalam peperangan tersebut, pihak Muawiyah dapat dipastikan kalah. Akan tetapi, Amr bin al-Ash (orang kepercayaan Muawiyah) menggunakan siasat untuk berdamai dengan mengangkat al-Qur’an di ujung tombak. Pada awalnya Khalifah Ali menolaknya karena tahu bahwa itu hanya tipu muslihat lawan saat terdesak. Namun pada akhirnya, Ali terpaksa menerima ajakan berdamai,[5] yang selanjutnya diadakan tahkim atau arbitrase. Dalam arbitrase tersebut, pihak Ali diwakili oleh Abu Musa bin al-Asy’ari, sedangkan dari pihak Muawiyah diwakili oleh Amr bin al-Ash. Menurut sejarah, kedua wakil tersebut sebenarnya telah bersepakat menjatuhkan kedua pemuka yang sedang bertikai. Namun ketika hasil tahkim akan diumumkan Amr bin al-Ash, yang terkenal politikus licik, membelok dari kesepakatan. Ia mengatakan keputusan menjatuhkan Ali dan menolak menjatuhkan Muawiyah, bahkan langsung membai’atnya sebagai khalifah pengganti Utsman.[6] Dengan adanya tahkim ini, kedudukan Muawiyah berubah menjadi khalifah tidak resmi dan Khalifah Ali sendiri menolak tunduk kepada hasil tahkim dan melepaskan jabatan kekhalifahan.

C.   Perpecahan dalam Barisan Ali
Dalam menanggapi hasil tahkim, terdapat sekelompok orang yang tidak setuju terhadap sikap dan kebijaksanaan Ali yang telah menerima tawaran dari Muawiyah. Pada akhirnya mereka tegas menolak hasil tahkim dan menyatakan keluar dari barisan Ali. Kelompok ini kemudian dikenal dengan nama al-Khawarij yang menentang Ali sekaligus Muawiyah.
Khalifah Ali pada awalnya bersiap untuk menghadapi Muawiyah terlebih dahulu. Namun terdengar berita bahwa kaum al-Khawarij sedang menuju Madinah untuk melakukan penyerangan. Keadaan ini membuat Khalifah Ali mengalihkan perhatiannya dan mengarahkan pasukannya ke Madinah. Namun Setelah berhasil mengalahkan kaum al-Khawarij, pasukan Ali yang tersisa tidak mampu untuk menumbangkan Muawiyah seperti yang telah direncanakan. Kondisi ini membuat Muawiyah leluasa berkuasa di Damaskus. Kemudian setelah Khalifah Ali meninggal, Muawiyah dengan mudahnya memperoleh pengakuan sebagai khalifah.

D.   Pembicaraan Lebih Lanjut Mengenai Kalam
Kaum al-Khawarij menganggap Ali, Muawiyah, Abu Musa dan Amr bin al-Ash telah kafir,[7] karena dipandang tidak menetapkan hukum berdasar al-Qur’an. Inilah awal sejarah munculnya persoalan kalam atau teologi dalam diskusi umat Islam.
Dari pembicaraan kaum al-Khawarij tentang iman dan kufur, yang dihubungkan dengan pelaku tahkim dan pelaku dosa besar. Berbagai persoalan kalam lain terus bermunculan dan berkembang sehingga pada masa Dinasti Bani Abbas, masa Khalifah al-Ma’mun, lahir disiplin ilmu yang terkenal dengan nama Ilmu Kalam (‘Ilmu al-Kalam). Diberi nama demikian karena masalah yang hangat diperbincangkan pada masa itu adalah masalah kalam Allah, al-Qur’an, atau karena cara pembuktian atas kepercayaan agama menyerupai logika (mantiq) di dalam filsafat. Untuk membedakan dengan logika yang digunakan di dalam filsafat, cara pembuktian para mutakallim itu dinamai kalam. [8]
Ilmu kalam ini lazim pula disebut ilmu Tauhid, ilmu Ushuluddin dan ilmu Aqaid. Disebut ilmu Tauhid karena tujuan pokok dari ilmu ini adalah meng-Esa-kan Tuhan. Disebut ilmu Ushuluddin karena objek kajiannya adalah masalah dasar dari ajaran Islam. Adapun disebut ilmu Aqaid karena yang dibicarakan adalah masalah akidah atau kepercayaan dalam agama Islam.



[1] Abu al-Fath Muhammad Abdul Karim bin Abi Bakr Ahmad al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), hlm. 24
[2] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran, Sejarah AnalisaPerbandingan, hlm. 4.
[3] Abu al-Fath Muhammad Abdul Karim bin Abi Bakr Ahmad al-Syahrastani, al-Minal wa al-Nihal, hlm. 25.
[4] Ahmad Amin, Fajr al-Islam, (Kairo: Maktabah al-Nahdah al-Misriyah, 1965), hlm. 254.
[5] Ahmad Amin, Fajr al-Islam, hlm. 256.
[6] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, (Kairo: Dar al-Fikr, 1979), jilid VI, hlm. 39-40.
[7] Abu al-Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyin wa Ikhtilaf al-Mushallin, (Kairo: Maktabah al-Nahdah al-Misriyyah, 1950), jilid I, hlm. 189.
[8] Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, (Kairo: Maktabah al-Nahdah al-Misriyyah, 1964), jilid III, hlm. 9. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar