Wikipedia

Hasil penelusuran

Rabu, 30 Maret 2016

Kerangka Berpikir Irfani: Dasar-dasar Falsafi Maqamat dan Ahwal

A.    Perbedaan Maqam dan Ahwal
1.      Maqamat
Tasawuf adalah ilmu maqamat al-qulub wa ahwaliha yaitu ilmu yang memberikan jalan agar hati atau rohani mempunyai maqam atau status. Banyak jalan dan cara yang ditempuh oleh seorang sufi dalam meraih cita-cita dan tujuannya untuk mendekatkan diri kepada Allah seperti memperbanyak zikir, beramal soleh dan sebagainya. Oleh karena itu, dalam perjalanan spritualnya, seorang sufi pasti menempuh beberapa tahapan. Tahapan-tahapan itulah yang disebut dengan maqam.
2.      Ahwal
Ahwal adalah keadaan atau kondisi psikologis ketika seorang sufi mencapai maqam tertentu.[1] Menurut Al-Thusi, keadaaan (hal) tidak termasuk usaha latihan-latihan rohaniyah. Maqam ditandai dengan kemapanan sedangkan hal justru mudah hilang. Maqam dapat dicapai seseorang dengan kehendak dan upayanya, sementara hal dapat diperoleh seseorang tanpa sengaja.

B.     Maqamat dalam Tasawuf
1.      Taubat
Setiap orang yang akan memperkaya hati dengan maqam kesufian maka harus diawali dengan pertaubatan. Taubat adalah menyesali perbuatan dosa yang telah diperbuat, bertekad untuk berhenti dan tidak mengulanginya lagi, baik disengaja atau tidak, dan bertekad untuk memperbaiki diri. Sikap dalam taubat ini harus diucapkan dalam hati yang tulus dan penuh keikhlasan, pengucapan secara lisan boleh-boleh saja, tapi taubat yang sebenarnya adalah dalam hati.
Setelah melepaskan diri dari belenggu kebandelan, orang yang bertaubat harus menaiki tangga-tangga jalan tasawuf dan jenjang-jenjang ‘irfan hingga bisa melupakan maksiat yang sebelumnya telah menghalanginya dari pencapaian.[2] Saat itulah ia menduduki satu posisi spiritual yang membuatnya tidak ingat apapun selain Allah.
2.      Wara’
Wara’ merupakan sikap selektif dalam segala tindakan yang akan dilakukan. Dalam pepatah disebutkan, tinggalkan yang kamu ragu, ambil yang kamu tidak ragu dan tinggalkanlah sesuatu yang tidak ada manfaatnya. Al-Qur’an menyebutkan.
Ÿwur ß#ø)s? $tB }§øŠs9 y7s9 ¾ÏmÎ/ íOù=Ïæ 4 ¨bÎ) yìôJ¡¡9$# uŽ|Çt7ø9$#ur yŠ#xsàÿø9$#ur @ä. y7Í´¯»s9'ré& tb%x.
çm÷Ytã Zwqä«ó¡tB ÇÌÏÈ
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. al-Isra: 36)
3.      Zuhud
Zuhud berarti meninggalkan kehidupan duniawi dan mempunyai sikap tidak terbelenggu oleh hidup kebendaan demi mendekatkan diri pada sang Pencipta. Zuhud bukan berarti kita dituntut untuk miskindan tidak mencari nafkah untuk kebutuhan sehari-hari, melainkan tidak ada ketertarikan hati pada kekayaan. Boleh saja seseorang memiliki harta yang melimpah, tapi hatinya tidak selalu terpaut pada kemewahan itu. Semua kemewahan itu hanya dianggap titipan dari Allah yang sewaktu-waktu dapat diambil.
4.      Sabar
Sabar berarti ketegaran saat ditimpa musibah dan menerima atau menjalankannya dengan hati ikhlas. Idealisme orang yang sabar adalah mampu menanggung penderitaan sebagai bentuk penghambaan diri kepada Allah.
ö@è% ÏŠ$t7Ïè»tƒ z`ƒÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# öNä3­/u 4 tûïÏ%©#Ï9 (#qãZ|¡ômr& Îû ÍnÉ»yd $u÷R9$# ×puZ|¡ym 3 ÞÚör&ur «!$# îpyèźur 3 $yJ¯RÎ) ®ûuqムtbrçŽÉ9»¢Á9$# Nèdtô_r& ÎŽötóÎ/ 5>$|¡Ïm ÇÊÉÈ
Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah kepada Tuhanmu". Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. (QS. az-Zumar: 10)
5.      Faqir
Faqir menurut penfsiran Imam al-Junaid adalah jargon orang-orang yang menghadap Allah dengan lebih banyak ibadah dalam khalwat. Ketulusan dalam status kefaqiran yang hanya ditujukan kepada Allah saja membuat sang faqr tidak mau mengemis dan meminta-minta pada manusia karena sudah merasa cukup dengan yang diperolehnya di sisi Allah. Sikap ini mendorong seseorang untuk tidak berdebat dalam masalah agama sehingga seorang faqr adalah orang yang tidak memusuhi siapa pun dan jika ia dimusuhi ia diam. Hal ini dimaksudkan agar seorang sufi membebaskan diri dari riya, menjaga kehormatan diri dari mengemis, juga tidak terpancing melakukan perdebatan dalam masalah agama.
6.      Tawakal
Tawakal berarti berserah diri kepada Allah atas segala urusan yang Allah kehendaki. Menurut Imam al-Junaid tawakal berarti percaya sepenuhnya kepada Allah sebagai penjamin rezeki bagi setiap makhluk hidup, sebagaimana firman-Nya.
* $tBur `ÏB 7p­/!#yŠ Îû ÇÚöF{$# žwÎ) n?tã «!$# $ygè%øÍ ÞOn=÷ètƒur $yd§s)tFó¡ãB $ygtãyŠöqtFó¡ãBur 4 @@ä. Îû 5=»tGÅ2 &ûüÎ7B ÇÏÈ
Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh). (QS. Huud: 6)
7.      Ridha
Ridha menurut Imam al-Junaid adalah ketundukan mutlak dan penyerahan diri seutuhnya pada ketentuan qadha Allah yang telah ditetapkan sejak zaman azali. Ridha dapat juga berarti melepas ikhtiar, namun bukan berarti bahwa seorang hamba menjadi seorang fatalis (majbur) dalam segala perbuatan yang dilakukannya. Akan tetapi, melepas ikhtiar berarti ridha dengan qadha Allah dalam bentuk cobaan-cobaan yang diujikan-Nya pada hamba-hamba-Nya.

C.     Ahwal dalam Perjalanan Sufi
1.      Muraqabah Lillah (Keterjagaan)
Imam al-Junaid menyebutkan bahwa muraqabah lillah merupakan langkah pertama realisasi tauhid. Ia berarti perasaan berlimpah bahwa segala sesuatu yang ada mengambil wujud dan kelangsungan eksistensinya dari Allah Yang Maha Esa lagi Tunggal. Atau ia adalah sikap ihsan dalam beribadah (yakni menyembah Allah seolah-olah melihat-Nya) sebab Allah Maha Mengawasi segala sesuatu. Orang yang benar-benar berada dalam kondisi muraqbah, hatinya focus kepada Allah dan tidak menengok pada apapun selain Dia.
2.      Al-Qurb (Kedekatan Allah)
Kedekatan Allah menurut Imam al-Junaid adalah kedekatan ke hati yang semarak dengan keimanan. Semakin banyak intensitas seorang hamba mendekatkan diri kepada Tuhannya, maka semakin bertambah pula kedekatan Allah ke hatinya. Perasaan seorang hamba akan kedekatan Allah dengannya jika terus menguat maka ia telah berada dalam status wajd atau dzauq. Adapun sebaliknya, maka hamba tersebut berada dalam status tafriqah atau farq.
3.      Mahabbah Lillah (Cinta kepada Allah)
Mahabbah lillah menurut Imam al-Junaid berarti kefanaan seorang hamba yang mencintai dari melihat dirinya atau dari keberpalingan pada bagian-bagiannya karena larut dengan kesibukannya mencintai  Tuhannya. Cinta pada Allah secara umum melahirkan perasaan riang atau intim dengan Allah sehingga si hamba merasa menyesal jika sampai kehilangan perasaan tersebut. Hakikat cinta hanya diperuntukan kepada Allah, rabb yang Maha Mencintai dan pantas dicintai.
4.      Khauf min Allah (Takut kepada Allah)
Perasaan takut kepada Allah membuat seorang hamba selalu mawas diri mengantisipasi kemungkinan jatuhnya siksa Allah setiap saat. Sehingga mampu mencegah diri dari bermaksiat dan mengikatnya dengan bentuk ketaatan. Takut kepada Allah memacu seseorang untuk tidak cepat puas dengan amal-amal shalehnya, atau dengan bahasa lain ia bisa membebaskan dirinya dari rasa ‘ujub (membangga-banggakan diri).
5.      Raja’ Fillah (Berharap kepada Allah)
Raja’ diartikan berharap atau optimisme, yaitu tenang dan senangnya hati karena menunggu sesuatu yang dicintai. Ada tiga hal yang harus dipenuhi oleh orang yang raja’ terhadap sesuatu yaitu: a) mencintai yang diharapkannya, b) takut akan kehilangannya, dan c) usaha untuk mendapatkannya. Raja’ yang tidak disertai dengan tiga perkara tersebut, hanyalah angan-angan semata.
6.      Syauq Ilallah (Rindu Allah)
Kerinduan pada Allah menurut Imam al-Junaid adalah kondisi emosional yang memacu seorang hamba pada hasrat yang menggebu-gebu untuk mencapai kebersamaan, meski apa pun rintangan yang menghadang perjalanannya menuju Allah. Dalam lubuk jiwa seorang sufi, rasa rindu hidup dengan subur, yakni rindu untuk segera bertemu dengan Tuhan.
7.      Al-Uns Billah
Menurut Imam al-Junaid, ini merupakan kondisi emosional ynag mengombinasikan antara perasaan bahagia secara spiritualdan perasaan segan (haibah) dengan Allah. Kondisi ini dialami oleh kaum sufi dalam khalwat-khalwat mereka dengan terus-menerus berdzikir dan berpikir, namun menurut sebagian kalangan khalwat bukan syarat utama dalam perealisasiannya.

D.    Metode Berpikir Irfani
A. Khudori Soleh dalam Suseno, irfani adalah model metodologi berfikir yang di dasarkan atas pendekatan dan pengalaman langsung atas realitas spiritual keagamaan.[3] Pengetahuan irfani adalah pengetahuan yang tidak didasarkan atas teks, tetapi pada kasyf, yaitu tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks atau keruntutan logika, tetapi oleh rohani.
Dalam dunia tasawuf qalb merupakan pengetahuan tentang hakikat, termasuk di dalamnya hakikat ma’rifat. Qalb yang dapat memperoleh ma’rifat adalah yang telah tersucikan dari berbagai noda atau akhlak yang jelek yang sering dilakukan manusia. Disamping melalui tahapan-tahapan ahwal, untuk memperoleh ma’rifat, seseorang harus melalui upaya-upaya tertentu, yaitu sebagai berikut.
1.      Riyadhah
Riyadhah adalah latihan kejiwaan melalui upaya membiasakan diri agar tidak melakukan hal-hal yang dapat mengotori jiwanya. Riyadhah harus disertai dengan mujahadah. Mujahadah yang dimaksudkan disini adalah kesungguhan dalam perjuangan meninggalkan sifat-sifat jelek. Riyadhah perlu dilakukan karena imu ma’rifat dapat diperoleh melalui upaya melakukan perbuatan kesalehan atau kebaikan yang terus-menerus.
2.      Tafakur
Secara harfiah tafakur berarti memikirkan sesuatu secara mendalam, sistematis dan terperinci.[4] Tafakur penting dilakukan oleh manusia yang menginginkan ma’rifat. Sebab, ketika jiwa telah belajar dan mengolah ilmu, lalu memikirkan (bertafakur) dan menganalisanya, pintu kegaiban akan dibukakan untuknya. Tafakur belansung secara internal dengan proses pembelajaran dari dalam diri manusia melalui aktivitas berpikir yang menggunakan perangkat batiniah (jiwa).
3.      Tazkiyat an-Nafs
Tazkiyat an-Nafs adalah proses penyucian jiwa manusia. Upaya melakukan penyempurnaan jiwa perlu dilakukan oleh setiap orang yang menginginkan ilmu ma’rifat. Ada lima hal yang menjadi penghalang bagi jiwa dalan menangkap hakikat, yaitu: a) jiwa yang belum sempurna, b) jiwa yang dikotori perbuatan maksiat, c) menuruti keinginan badan, d) penutup yang menghalangi masuknya hakikat ke dalam jiwa (taqlid), dan e) tidak dapat berpikir logis.
4.      Dzikrullah
Secara etimologi, dzikir adalah mengingat, sedangkan secara istilah adalah mambasahi lidah dengan ucapan-ucapan pujian kepada Allah. Pentingnya dzikir untuk mendapatkan ilmu ma’rifat didasarkan atas argumentasi tentang peranan dzikir itu sendiri bagi hati.



[1] Kholid Ahmad Sahlan, Dasar-dasar Falsafi Maqamat dan Ahwal, Tulungagung: Staid Press, 2012, hlm. 4.
[2] Muhammad Fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam & Akhlak, Jakarta: Amzah, 2011, hlm. 79.
[3] A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 8.
[4] Fathullah Gulen, Kunci-Kunci Rahasia Sufi, Jakarta: Srigunting, 2001, hlm. 34.