A.
Perbedaan
Maqam dan Ahwal
1.
Maqamat
Tasawuf adalah ilmu maqamat al-qulub wa ahwaliha yaitu ilmu
yang memberikan jalan agar hati atau rohani mempunyai maqam atau status.
Banyak
jalan dan cara yang ditempuh oleh seorang sufi dalam meraih cita-cita dan
tujuannya untuk mendekatkan diri kepada Allah seperti memperbanyak zikir,
beramal soleh dan sebagainya. Oleh karena itu, dalam perjalanan spritualnya,
seorang sufi pasti menempuh beberapa tahapan. Tahapan-tahapan itulah yang
disebut dengan maqam.
2.
Ahwal
Ahwal
adalah keadaan atau kondisi psikologis ketika seorang sufi mencapai maqam
tertentu.[1]
Menurut Al-Thusi, keadaaan (hal) tidak termasuk usaha latihan-latihan
rohaniyah. Maqam ditandai dengan kemapanan sedangkan hal justru mudah
hilang. Maqam dapat dicapai seseorang dengan kehendak dan upayanya,
sementara hal dapat diperoleh seseorang tanpa sengaja.
B.
Maqamat
dalam Tasawuf
1. Taubat
Setiap orang yang akan memperkaya hati dengan maqam kesufian
maka harus diawali dengan pertaubatan. Taubat adalah menyesali perbuatan dosa
yang telah diperbuat, bertekad untuk berhenti dan tidak mengulanginya lagi,
baik disengaja atau tidak, dan bertekad untuk memperbaiki diri. Sikap dalam
taubat ini harus diucapkan dalam hati yang tulus dan penuh keikhlasan,
pengucapan secara lisan boleh-boleh saja, tapi taubat yang sebenarnya adalah
dalam hati.
Setelah melepaskan diri dari belenggu kebandelan, orang yang
bertaubat harus menaiki tangga-tangga jalan tasawuf dan jenjang-jenjang ‘irfan
hingga bisa melupakan maksiat yang sebelumnya telah menghalanginya dari
pencapaian.[2]
Saat itulah ia menduduki satu posisi spiritual yang membuatnya tidak ingat
apapun selain Allah.
2.
Wara’
Wara’ merupakan sikap selektif dalam segala tindakan yang akan
dilakukan. Dalam pepatah disebutkan, tinggalkan yang kamu ragu, ambil yang kamu
tidak ragu dan tinggalkanlah sesuatu yang tidak ada manfaatnya. Al-Qur’an
menyebutkan.
wur ß#ø)s? $tB }§øs9 y7s9 ¾ÏmÎ/ íOù=Ïæ 4 ¨bÎ) yìôJ¡¡9$# u|Çt7ø9$#ur y#xsàÿø9$#ur @ä. y7Í´¯»s9'ré& tb%x.
çm÷Ytã Zwqä«ó¡tB ÇÌÏÈ
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati,
semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. al-Isra: 36)
3.
Zuhud
Zuhud berarti meninggalkan kehidupan duniawi dan mempunyai sikap
tidak terbelenggu oleh hidup kebendaan demi mendekatkan diri pada sang
Pencipta. Zuhud bukan berarti kita dituntut untuk miskindan tidak mencari
nafkah untuk kebutuhan sehari-hari, melainkan tidak ada ketertarikan hati pada
kekayaan. Boleh saja seseorang memiliki harta yang melimpah, tapi hatinya tidak
selalu terpaut pada kemewahan itu. Semua kemewahan itu hanya dianggap titipan
dari Allah yang sewaktu-waktu dapat diambil.
4.
Sabar
Sabar berarti ketegaran saat ditimpa musibah dan menerima atau
menjalankannya dengan hati ikhlas. Idealisme orang yang sabar adalah mampu
menanggung penderitaan sebagai bentuk penghambaan diri kepada Allah.
ö@è% Ï$t7Ïè»t z`Ï%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# öNä3/u 4 tûïÏ%©#Ï9 (#qãZ|¡ômr& Îû ÍnÉ»yd $u÷R9$# ×puZ|¡ym 3 ÞÚör&ur «!$# îpyèźur 3 $yJ¯RÎ) ®ûuqã tbrçÉ9»¢Á9$# Nèdtô_r& ÎötóÎ/ 5>$|¡Ïm ÇÊÉÈ
Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku
yang beriman, bertakwalah kepada Tuhanmu". Orang-orang yang berbuat baik
di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya
hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.
(QS. az-Zumar: 10)
5.
Faqir
Faqir menurut penfsiran Imam al-Junaid adalah jargon orang-orang
yang menghadap Allah dengan lebih banyak ibadah dalam khalwat. Ketulusan dalam
status kefaqiran yang hanya ditujukan kepada Allah saja membuat sang faqr tidak
mau mengemis dan meminta-minta pada manusia karena sudah merasa cukup dengan
yang diperolehnya di sisi Allah. Sikap ini mendorong seseorang untuk tidak
berdebat dalam masalah agama sehingga seorang faqr adalah orang yang tidak
memusuhi siapa pun dan jika ia dimusuhi ia diam. Hal ini dimaksudkan agar
seorang sufi membebaskan diri dari riya, menjaga kehormatan diri dari mengemis,
juga tidak terpancing melakukan perdebatan dalam masalah agama.
6.
Tawakal
Tawakal berarti berserah diri kepada Allah atas segala urusan yang
Allah kehendaki. Menurut Imam al-Junaid tawakal berarti percaya sepenuhnya
kepada Allah sebagai penjamin rezeki bagi setiap makhluk hidup, sebagaimana
firman-Nya.
* $tBur `ÏB 7p/!#y Îû ÇÚöF{$# wÎ) n?tã «!$# $ygè%øÍ ÞOn=÷ètur $yd§s)tFó¡ãB $ygtãyöqtFó¡ãBur 4 @@ä. Îû 5=»tGÅ2 &ûüÎ7B ÇÏÈ
Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah
yang memberi rezkinya, dan dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan
tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).
(QS. Huud: 6)
7.
Ridha
Ridha menurut Imam al-Junaid adalah ketundukan mutlak dan
penyerahan diri seutuhnya pada ketentuan qadha Allah yang telah
ditetapkan sejak zaman azali. Ridha dapat juga berarti melepas ikhtiar,
namun bukan berarti bahwa seorang hamba menjadi seorang fatalis (majbur) dalam
segala perbuatan yang dilakukannya. Akan tetapi, melepas ikhtiar berarti ridha
dengan qadha Allah dalam bentuk cobaan-cobaan yang diujikan-Nya pada
hamba-hamba-Nya.
C.
Ahwal
dalam Perjalanan Sufi
1.
Muraqabah
Lillah (Keterjagaan)
Imam al-Junaid menyebutkan bahwa muraqabah lillah merupakan
langkah pertama realisasi tauhid. Ia berarti perasaan berlimpah bahwa segala
sesuatu yang ada mengambil wujud dan kelangsungan eksistensinya dari Allah Yang
Maha Esa lagi Tunggal. Atau ia adalah sikap ihsan dalam beribadah (yakni
menyembah Allah seolah-olah melihat-Nya) sebab Allah Maha Mengawasi segala
sesuatu. Orang yang benar-benar berada dalam kondisi muraqbah, hatinya
focus kepada Allah dan tidak menengok pada apapun selain Dia.
2.
Al-Qurb (Kedekatan Allah)
Kedekatan Allah menurut Imam al-Junaid adalah kedekatan ke hati
yang semarak dengan keimanan. Semakin banyak intensitas seorang hamba
mendekatkan diri kepada Tuhannya, maka semakin bertambah pula kedekatan Allah
ke hatinya. Perasaan seorang hamba akan kedekatan Allah dengannya jika terus
menguat maka ia telah berada dalam status wajd atau dzauq. Adapun
sebaliknya, maka hamba tersebut berada dalam status tafriqah atau farq.
3.
Mahabbah
Lillah (Cinta kepada Allah)
Mahabbah lillah menurut
Imam al-Junaid berarti kefanaan seorang hamba yang mencintai dari melihat
dirinya atau dari keberpalingan pada bagian-bagiannya karena larut dengan
kesibukannya mencintai Tuhannya. Cinta
pada Allah secara umum melahirkan perasaan riang atau intim dengan Allah
sehingga si hamba merasa menyesal jika sampai kehilangan perasaan tersebut. Hakikat
cinta hanya diperuntukan kepada Allah, rabb yang Maha Mencintai dan pantas
dicintai.
4.
Khauf
min Allah (Takut kepada Allah)
Perasaan takut kepada Allah membuat seorang hamba selalu mawas diri
mengantisipasi kemungkinan jatuhnya siksa Allah setiap saat. Sehingga
mampu mencegah diri dari bermaksiat dan mengikatnya dengan bentuk ketaatan. Takut kepada Allah memacu seseorang untuk tidak cepat puas dengan
amal-amal shalehnya, atau dengan bahasa lain ia bisa membebaskan dirinya dari
rasa ‘ujub (membangga-banggakan diri).
5.
Raja’
Fillah (Berharap kepada Allah)
Raja’
diartikan
berharap atau optimisme, yaitu tenang dan senangnya hati karena menunggu
sesuatu yang dicintai. Ada tiga hal yang harus dipenuhi oleh orang yang raja’
terhadap sesuatu yaitu: a) mencintai yang diharapkannya, b) takut akan
kehilangannya, dan c) usaha untuk mendapatkannya. Raja’ yang tidak disertai
dengan tiga perkara tersebut, hanyalah angan-angan semata.
6.
Syauq
Ilallah (Rindu Allah)
Kerinduan pada Allah menurut Imam al-Junaid adalah kondisi
emosional yang memacu seorang hamba pada hasrat yang menggebu-gebu untuk
mencapai kebersamaan, meski apa pun rintangan yang menghadang perjalanannya
menuju Allah. Dalam lubuk jiwa seorang sufi, rasa rindu hidup dengan
subur, yakni rindu untuk segera bertemu dengan Tuhan.
7.
Al-Uns
Billah
Menurut Imam al-Junaid, ini merupakan kondisi emosional ynag
mengombinasikan antara perasaan bahagia secara spiritualdan perasaan segan (haibah)
dengan Allah. Kondisi ini dialami oleh kaum sufi dalam khalwat-khalwat mereka
dengan terus-menerus berdzikir dan berpikir, namun menurut sebagian kalangan
khalwat bukan syarat utama dalam perealisasiannya.
D.
Metode
Berpikir Irfani
A. Khudori
Soleh dalam Suseno, irfani adalah
model metodologi berfikir yang di dasarkan atas pendekatan dan pengalaman
langsung atas realitas spiritual keagamaan.[3] Pengetahuan
irfani adalah pengetahuan yang tidak didasarkan atas teks, tetapi pada kasyf,
yaitu tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Karena itu,
pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks atau
keruntutan logika, tetapi oleh rohani.
Dalam dunia tasawuf qalb merupakan pengetahuan tentang
hakikat, termasuk di dalamnya hakikat ma’rifat. Qalb yang dapat memperoleh
ma’rifat adalah yang telah tersucikan dari berbagai noda atau akhlak yang jelek
yang sering dilakukan manusia. Disamping melalui tahapan-tahapan ahwal, untuk
memperoleh ma’rifat, seseorang harus melalui upaya-upaya tertentu, yaitu sebagai berikut.
1.
Riyadhah
Riyadhah adalah latihan kejiwaan melalui upaya
membiasakan diri agar tidak melakukan hal-hal yang dapat mengotori jiwanya. Riyadhah harus disertai dengan mujahadah. Mujahadah yang dimaksudkan disini
adalah kesungguhan dalam perjuangan meninggalkan
sifat-sifat jelek. Riyadhah perlu dilakukan karena imu ma’rifat
dapat diperoleh melalui upaya melakukan perbuatan kesalehan atau kebaikan yang
terus-menerus.
2.
Tafakur
Secara
harfiah tafakur berarti memikirkan sesuatu secara mendalam, sistematis dan
terperinci.[4]
Tafakur penting dilakukan oleh manusia yang
menginginkan ma’rifat. Sebab, ketika jiwa telah belajar dan mengolah ilmu, lalu
memikirkan (bertafakur) dan menganalisanya, pintu kegaiban akan dibukakan
untuknya. Tafakur belansung secara internal dengan
proses pembelajaran dari dalam diri manusia melalui aktivitas berpikir yang
menggunakan perangkat batiniah (jiwa).
3.
Tazkiyat
an-Nafs
Tazkiyat an-Nafs adalah proses penyucian jiwa manusia. Upaya melakukan penyempurnaan jiwa perlu dilakukan oleh setiap orang yang
menginginkan ilmu ma’rifat. Ada lima hal yang menjadi penghalang bagi jiwa dalan menangkap hakikat, yaitu: a) jiwa
yang belum sempurna, b) jiwa yang
dikotori perbuatan maksiat, c) menuruti keinginan badan, d) penutup yang menghalangi masuknya hakikat ke dalam jiwa (taqlid), dan e) tidak dapat berpikir logis.
4.
Dzikrullah
Secara etimologi, dzikir adalah mengingat,
sedangkan secara istilah adalah
mambasahi lidah dengan ucapan-ucapan pujian kepada Allah. Pentingnya dzikir untuk mendapatkan ilmu ma’rifat didasarkan atas
argumentasi tentang peranan dzikir itu sendiri bagi hati.
[1]
Kholid Ahmad Sahlan, Dasar-dasar Falsafi Maqamat dan Ahwal, Tulungagung:
Staid Press, 2012, hlm. 4.
[2]
Muhammad Fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam & Akhlak, Jakarta: Amzah, 2011,
hlm. 79.
[3]
A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat
Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 8.
[4] Fathullah Gulen, Kunci-Kunci Rahasia Sufi, Jakarta: Srigunting,
2001, hlm. 34.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar